Jejak Purba Layang-Layang di Muna: Menguak Misteri Goa Sugi Patani

- Penulis

Kamis, 11 Juli 2024 - 19:46 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(Alm.) La Masili, pegiat dan pelestari Kaghati Kolope Muna (Foto: Istimewa)

(Alm.) La Masili, pegiat dan pelestari Kaghati Kolope Muna (Foto: Istimewa)

Oleh: Novrizal R Topa

Sejarah Singkat Goa Sugi Patani dan Lukisan Layang-Layang

Goa Sugi Patani, yang terletak di desa Liangkobori, kecamatan Lohia, kabupaten Muna, provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan situs arkeologi penting di Indonesia. Goa ini berada di atas bukit batu dengan ketinggian sekitar 30 meter dari jalan setapak dan memiliki kemiringan hampir vertikal sebesar 80 derajat. Akses menuju goa ini cukup menantang, namun keindahan dan nilai sejarah yang terkandung di dalamnya menarik perhatian banyak peneliti dan wisatawan.

Salah satu fitur paling menonjol dari Goa Sugi Patani adalah lukisan purba yang ditemukan di dinding goa. Lukisan ini menggambarkan sosok manusia yang tengah memainkan layang-layang di dekat pohon kelapa. Menariknya, lukisan ini dibuat menggunakan oker, campuran tanah liat dengan getah pohon tertentu, yang memberikan warna khas pada gambar tersebut. Lukisan ini tidak hanya menunjukkan kemampuan artistik nenek moyang kita, tetapi juga memberikan petunjuk tentang aktivitas budaya dan hiburan pada masa lampau.

Penemuan lukisan layang-layang ini telah menggugah perhatian seorang penggemar layang-layang dari Jerman bernama Wolfgang Bieck. Pada tahun 2003, Bieck mengunjungi Goa Sugi Patani dan menuliskan pengalamannya dalam sebuah artikel berjudul ‘The First Kiteman’ yang diterbitkan di sebuah majalah Jerman. Dalam artikelnya, Bieck mengajukan hipotesis bahwa layangan pertama di dunia mungkin berasal dari Muna, bukan dari China seperti yang selama ini diyakini. Pernyataan ini tentunya menimbulkan perdebatan dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya.

Goa Sugi Patani tidak hanya menawarkan pemandangan alam yang memukau, tetapi juga menyimpan sejarah yang kaya. Lukisan layang-layang di goa ini menjadi salah satu bukti penting yang dapat membantu kita memahami lebih dalam tentang peradaban dan kebudayaan masyarakat purba di Muna. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat mengungkap lebih banyak misteri dan memperkaya pengetahuan kita tentang sejarah layang-layang di dunia.

BACA JUGA  Momentum HUT ke-65 Kabupaten Muna, Relawan Sabhangka Bachrun Rapatkan Barisan

Kontroversi Usia Lukisan dan Pendapat Ahli Arkeologi

Meskipun banyak ahli arkeologi belum bisa memastikan usia pasti lukisan di Goa Sugi Patani, beberapa penelitian memberikan petunjuk yang menarik. Hasil penelitian lukisan di goa-goa prasejarah lain di Sulawesi, termasuk Sulawesi Tenggara, memperkirakan usia antara 4.000 hingga 10.000 tahun. Namun, tidak ada penelitian khusus yang fokus pada lukisan layang-layang di Goa Sugi Patani, yang membuat penentuan usia lukisan tersebut menjadi tantangan tersendiri.

Prof. Harry Truman Simanjuntak menegaskan bahwa sejauh ini, belum ada penelitian mendalam mengenai lukisan layang-layang di Goa Sugi Patani. Hal ini memperkuat ketidakpastian usia lukisan tersebut. Di sisi lain, arkeolog Kosasih memberikan perspektif yang berbeda dalam buku ‘Layang-Layang Indonesia’ karya Endang W. Puspoyo. Dia menyebutkan bahwa lukisan di Muna, yang berwarna coklat dan bersifat kolosal, memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan lukisan di Sulawesi Selatan yang diperkirakan berusia sekitar 4.000 tahun.

Kosasih juga mengemukakan hipotesis menarik bahwa para pelukis goa-goa di Liangkobori adalah pendatang dari luar pulau Muna. Indikasi ini terlihat dari adanya gambar kuda, hewan yang bukan asli dari Muna. Hipotesis ini membuka wacana baru mengenai kemungkinan migrasi dan interaksi budaya pada masa prasejarah di wilayah tersebut.

Perdebatan tentang usia dan asal-usul lukisan di Goa Sugi Patani mencerminkan kompleksitas studi arkeologi di wilayah ini. Dengan keterbatasan data dan kurangnya penelitian khusus, banyak aspek dari lukisan-lukisan ini yang masih menjadi misteri. Penelitian lebih lanjut dan metode penanggalan yang lebih canggih diharapkan dapat memberikan jawaban yang lebih jelas di masa depan.

Tradisi Bermain Layang-Layang di Muna

Tradisi bermain layang-layang di Muna, yang dalam bahasa setempat dikenal sebagai ‘kagati’, merupakan bagian integral dari budaya lokal yang masih berlangsung hingga kini. Layang-layang dari Muna memiliki keunikan tersendiri karena terbuat dari bahan alami, yaitu daun, berbeda dengan layang-layang dari daerah lain yang biasanya dibuat dari kertas atau kain. Pembuatan layang-layang ini adalah sebuah seni yang diwariskan turun-temurun, dengan setiap tahapannya memerlukan ketrampilan khusus.

BACA JUGA  Festival Liangkobori 2024, Lestarikan Situs Layang-layang Purba

La Simma, seorang warga desa Waraa di kecamatan Lohia, adalah salah satu pengrajin layang-layang tradisional. Beliau menggunakan daun kolope yang telah dikeringkan sebagai bahan utama layang-layangnya. Daun ini kemudian dijahit dengan lidi untuk membentuk kerangka layangan dari kulit waru. Keahlian La Simma dalam mengolah bahan-bahan alami ini menghasilkan layang-layang yang tidak hanya kuat tetapi juga estetis.

Salah satu aspek yang paling menakjubkan dari layang-layang Muna adalah tali layangannya yang dibuat dari serat nanas hutan. Serat ini dipilih karena kekuatannya yang mampu menahan tiupan angin kencang. Layang-layang ini bisa terbang selama tujuh hari tanpa pernah diturunkan pada periode angin timur yang bertiup kencang antara bulan Juni hingga September. Jika layang-layang tidak jatuh selama tujuh hari, pemiliknya akan menggelar acara syukuran sebagai bentuk rasa terima kasih dan penghargaan terhadap alam.

Kegiatan bermain layang-layang ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi simbol keterikatan masyarakat Muna dengan alam sekitarnya. Penggunaan bahan-bahan alami dan teknik tradisional menunjukkan bagaimana masyarakat Muna menghargai dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana. Tradisi ini menjadi salah satu warisan budaya yang memperkaya khazanah budaya Indonesia, menambah keunikan dan keindahan dalam keragaman tradisi Nusantara.

Budaya Bercocok Tanam dan Peran Layang-Layang dalam Kehidupan Masyarakat Kuno

Lukisan-lukisan yang ditemukan di goa-goa di Liangkobori mengungkapkan bahwa masyarakat kuno di daerah ini sudah mengenal dan mempraktikkan budaya bercocok tanam. Bukti visual ini menunjukkan bahwa agrikultur memainkan peran penting dalam kehidupan mereka sehari-hari. La Hada, penjaga goa-goa prasejarah di Liangkobori, menceritakan bahwa menurut legenda yang disampaikan dari generasi ke generasi, layang-layang merupakan permainan yang biasa dimainkan oleh para petani pada masa itu.

BACA JUGA  Kopi dan Segumpal Rasa: Menjelajahi Kekayaan Rasa dalam Secangkir Kopi

Permainan layang-layang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat kuno, tetapi juga memiliki nilai-nilai tradisional dan ritualistik. Dalam beberapa budaya, layang-layang sering kali dianggap sebagai simbol penghubung antara manusia dengan alam, serta sebagai medium komunikasi dengan para leluhur. Oleh karena itu, layang-layang mungkin memainkan peran penting dalam upacara-upacara adat dan ritual yang bertujuan untuk memohon berkah bagi hasil panen atau meminta perlindungan dari roh-roh jahat.

Lebih jauh lagi, peran layang-layang dalam kehidupan masyarakat kuno di Liangkobori dapat dilihat sebagai bentuk integrasi antara budaya agrikultur dan tradisi lokal. Dalam konteks ini, layang-layang bukan hanya sekedar alat permainan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya yang melekat kuat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan dan alam sekitar mereka, yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam permainan tradisional seperti layang-layang.

Dengan memahami peran layang-layang dalam budaya bercocok tanam dan kehidupan masyarakat kuno, kita dapat lebih menghargai kompleksitas dan kekayaan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Lukisan-lukisan di goa-goa Liangkobori tidak hanya memberi kita wawasan tentang kehidupan masa lalu, tetapi juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya yang berharga ini.

Facebook Comments Box
Visited 52 times, 1 visit(s) today

Penulis : Tim Redaksi

Editor : Redaksi

Berita Terkait

Musrenbang Muna 2025: Bachrun-Asrafil Menata Ulang Arah Pembangunan Lewat Potensi Lokal
Hajar Sosi Gaungkan Semangat Ekonomi Desa Lewat Koperasi Merah Putih: “Ini Gerakan Rakyat, Bukan Sekadar Program!”
Arus Balik Lebaran 2025 Membludak, 1.376 Mobil Padati Pelabuhan Tampo
Nyaris Adu Jotos di Pelabuhan Tampo-Torobulu, Gara-gara Nomor Antrian
Ribuan Jamaah Padati Lapangan Napabalano, Idul Fitri Jadi Momen Pererat Silaturahim
Alumni 2009 SMAN 1 Napabalano Gelar Aksi Sosial, Berbagi Kebahagiaan dengan 50 Paket Sembako
Resmi Beroperasi, Ini Tarif Penyeberangan Feri Tondasi-Torobulu untuk Penumpang dan Kendaraan
Unik! Kapolres Konsel Hadirkan Playstation untuk Pemudik di Pelabuhan Torobulu

Berita Terkait

Rabu, 9 April 2025 - 11:52 WITA

Musrenbang Muna 2025: Bachrun-Asrafil Menata Ulang Arah Pembangunan Lewat Potensi Lokal

Senin, 7 April 2025 - 10:46 WITA

Hajar Sosi Gaungkan Semangat Ekonomi Desa Lewat Koperasi Merah Putih: “Ini Gerakan Rakyat, Bukan Sekadar Program!”

Minggu, 6 April 2025 - 15:41 WITA

Arus Balik Lebaran 2025 Membludak, 1.376 Mobil Padati Pelabuhan Tampo

Sabtu, 5 April 2025 - 16:41 WITA

Nyaris Adu Jotos di Pelabuhan Tampo-Torobulu, Gara-gara Nomor Antrian

Sabtu, 29 Maret 2025 - 20:40 WITA

Alumni 2009 SMAN 1 Napabalano Gelar Aksi Sosial, Berbagi Kebahagiaan dengan 50 Paket Sembako

Berita Terbaru